Tuesday, December 8, 2015

[Event] Satu jam berguru kepada Sang Pujangga Legendaris Indonesia - Sapardi Djoko Damono


credit here, editted by me
Siapa yang tak kenal puisi di atas, walaupun mungkin beberapa orang tak pernah tahu siapa penulisnya tapi pastilah pernah- setidaknya sekali seumur hidup membaca sajak di atas di kertas-kertas undangan pernikahan, di bawah tulisan-tulisan doa pernikahan.

Melalui acara IRF 2015 yang diselenggarakan dua hari (5 & 6 Desember) kemarin, saya berkesempatan mengikuti Workshop Menulis Puisi bersama Pujangga Legendaris Indonesia yang telah menelurkan ratusan sajak kenamaan yaitu Bapak Sapardi Djoko Darmono.
Hari itu, ditengah hujan siang hari di awal bulan Desember,
Acara yang seharusnya di jadwal pukul 13.00 WIB ternyata tertunda hampir setengah jam, entah apa alasannya yang pasti ketika saya menengok sekeliling ruang kelas, kelas menulis puisi siang itu sudah dipenuhi para peserta yang bersungguh-sungguh ingin menimba ilmu singkat bersama Bapak Sapardi.

Sekitar pukul 2 siang, akhirnya pak Sapardi datang berjalan pelan ke depan kelas ditemani dengan tongat kayu setengah badan. Kelas serta merta hening, khusyu siap mengikuti pelajaran yang mungkin hanya dapat kami ikuti satu kali seumur hidup.

Puisi seperti yang diungkapkan oleh Pak Sapardi adalah Sebermula bunyi, bukan aksara, teknologi lah yang menjadikannya aksara. Puisi tidak untuk dipahami tapi untuk dihayati. Kesulitan dalam menulis puisi adalah jangan pernah menulis saat marah, karena kalau tidak,bisa-bisa puisi yang dituliskan isinya tanda pentung semua, itulah kenapa salah satu tips saat menulis puisi adalah melepaskan diri dari emosi.
Sesi berikutnya dilanjutkan dengan tanya-jawab, salah seorang peserta menanyakan "Bapak, bagaimana awal mula puisinya diperbolehkan untuk dimusikalisasi?" lalu Pak Sapardi menjawab, "Saya mengijinkannya untuk dibuat menjadi lagu karena saya menganggapnya sebagai kendaraan, tanpa dibikin lagu, mungkin puisi saya tidak akan dikenal luas saat ini, dan akan selamanya hanya akan ada di pojok kecil majalah lama, tapi dengan dibuat menjadi bentuk lagu, sajak saya bisa dikenal orang-orang tua dan muda"

Ada juga yang menanyakan bagaimana tips agar puisi kita muat di media cetak, lalu dengan entengnya Pak Sapardi menjawab "jangan takut ditolak,kirim saja karya anda, karena dimuat atau tidak dimuat itu cuma masalah selera editor" dan seketika kelas pecah dengan tawa peserta, dan dalam hati saya berkata, hmmm...eyang satu ini cocok juga ikut standup comedy.
Setelah puas dengan tanya-jawab, selanjutnya moderator memberikan waktu 20 menit kepada peserta untuk menuliskan puisi dan akan dipilih enam peserta untuk membacakan puisinya didepan kelas dan bisa dikomentari oleh bapak Sapardi.
.....
20 menit waktu berlalu, sesi hening menulis puisi selesai, ketika ditawari siapa yang mau membacakan karya masing-masing, ternyata hampir semua peserta antusias mengacungkan tangan untuk maju kedepan kelas, dari keenam peserta tersebut, ternyata saya terpilih sebagai salah satu yang maju untuk membacakan puisi karangan saya pribadi (hehehe, lagi rejeki kali ya).

credit : here
Sebagai penutup, moderator (kak dita) memberikan kesimpulan tentang workshop hari itu, bahwa tips mudah menulis puisi yang paling utama adalah Peka dengan keadaan sekitar, berpikir sederhana, dan dapat mengontrol emosi. yang kemudian Bapak Sapardi nyeletuk dan bilang "Ingat! menulis karena kita membaca, kenapa Tarzan tidak menjadi penyair?karena dia tinggal di hutan nggak ngerti baca tulis" 

Demikianlah, penutup hari itu kembali dipenuhi dengan gelak tawa murid-murid :)

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
see you, fellas!

No comments:

Post a Comment

Free Speech is Human Right! Speak up! Voice your opinion below. XO